Kesenian tidak bisa
dilepaskan dari Kebudayaan. Kebudayaan didefinisikan oleh Edward B. Taylor
sebagai, “Kompleks keseluruhan yang
meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral, kebiasaan serta
lain-lain kecakapan dan kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota
masyarakat”[1].
C. Kluckhon dalam bukunya, Universal
Categories of Culture menyebutkan adanya tujuh unsur kebudayaan secara
universal sbb: sistem pengetahuian, sistem organisasi,, sistem sosial, sistem
peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian, sistem religi, bahasa
serta kesenian[2].
Jika disederhanakan, kebudayaan memiliki tiga wujud sebagaimana dijelaskan
Koentjaraningrat yaitu: Pertama,
wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai,
norma-norma, peraturan dan sebaginya. Kedua,
wujud kebudayaan sebagai kompleks aktifitas serta berpola dari manusia dalam
masyarakat. Ketiga, wujud kebudayaan
sebagai benda-benda hasil karya manusia[3].
Seni dan kesenian adalah salah satu “unsur kebudayaan” (istilah C. Kluckhon)
atau “wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia” (istilah
Koentjaraningrat).
Cepetan adalah seni
yang lahir dan tumbuh sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat Kebumen.
Kebumen memiliki karakteristik kebudayaan yang cukup unik dikarenakan menjadi
“wilayah jepitan dua kebudayaan yaitu Banyumas dan Bagelen” (istilah Mustolih
Brs, pengajar di STAINU). Budaya Bagelen dekat dengan Purworejo yang mencirikan
sifat kesantunan dengan bahasa yang “mbhandek” dikarenakan dekat dengan wilayah
Keraton Yogyakarta yang penuh dengan simbol-simbol dan adab keraton. Sementara
Budaya Banyumasan kental dengan sifat merakyat yang kental dengan budaya
pertanian, komunikasi yang spontan bahkan cenderung tidak berbasa-basi.
Kebumen sebagai sub
kultur dua kebudayaan mapan sebelumnya yaitu Banyumas dan Bagelen, menghasilkan
keunikkan dalam logat berbahasa antara timur sungai Luk Ulo dan barat sungai
Luk Ulo. Selengkapnya Mustolih mendeskripsikan:
“Dari logat bahasanya, Kebumen
terbagi dua. Sebelah timur aliran sungai Luk Ulo berbahasa dengan didominasi
vokal ''o'', dan mbandek (poko'e). Sementara di sebelah barat aliran sungai Luk
Ulo didominasi vokal ''a'' dan ''k'' medok, (pokoke). Sedangkan, di antara
aliran sungai Luk Ulo dan aliran Sungai Kedungbener bahasanya campur bawur, ada
yang memakai poko'e, ada yang memakai pokoke. Sedangkan sebelah utara Gunung
Krakal masyarakat lebih fasih berbicara dengan logat Wonosoboan dengan memanjangkan
fonem akhir. Kebiasaan dan adat istiadat di Kebumen juga beragam, penduduk yang
tinggal di sebelah barat sungai Luk Ulo lebih suka nanggap calung, dan eblek,
sedangkan penduduk yang tinggal di sebelah timur sungai Luk Ulo lebih suka
nanggap wayang kulit atau ndolalak untuk acara resepsi. Orang Kebumen yang
tinggal di sebelah timur aliran sungai Luk Ulo disebut wong wetan kali, di
antaranya Kecamatan Kutowinangun, Ambal, dan Mirit. Mereka lebih terkesan
mriyayi sedang di Kecamatan Padureso, Poncowarno dan Alian lebih kental dengan
logat Wonosoboan. Sebaliknya, orang Kebumen yang tinggal di sebelah barat
aliran Sungai Luk Ulo disebut wong kulon kali, di antaranya Kecamatan Pejagoan,
Klirong, Sruweng, Petanahan, Kuwarasan, Gombong, yang lebih terkesan merakyat,
meskipun tidak seluruhnya”[4]
Keunikkan kebudayaan
Kebumen sebagai sub kultur Banyumas dan Bagelen akan menghasilkan keunikkan dan
karakteristik tertentu pada seni dan kesenian khususnya Cepetan yang berkembang
di wilayah utara namun sekaligus telah masuk wilayah “Kulon Kali” yang
mengekspresikan kebudayaan Banyumas yang bersifat kerakyatan. Kentalnya budaya
kerakyatan sebagai ciri budaya Banyumas diulas oleh Yus Wong Banyumas dalam
artikelnya, “Spirit Pengiyongan Dalam
Pergulatan Dua Kutub Budaya” sbb:
“Dalam
skala yang lebih luas, pengertian priyayi dan penginyongan bukan sekedar untuk
menyebut orang, tapi sebuah konsep yang bertautan pada dua kumparan kutub
budaya yang berbeda. Priyayi mewakili kutub budaya kraton, sedangkan
penginyongan mewakili kutub budaya kerakyatan. Kebudayaan kraton selalu
dimaknai sebagai kebudayaan yang agung, tinggi, mewah, rumit dan sakral.
Kebudayaan seperti ini tidak dimiliki oleh masyarakat kebanyakan. Sebaliknya
budaya kerakyatan yang hidup di daerah Banyumas adalah kebudayaan yang tumbuh
di kalangan masyarakat jelata yang berkehidupan sebagai petani tradisional.
Kebudayaan ini memiliki pola yang sederhana, egaliter, bersahaja dan apa
adanya”[5]
Sejarah
Kemunculan Seni Cepetan
Ada beberapa pendapat
mengenai asal usul seni Cepetan. Pendapat pertama dikemukakan oleh Ravie
Ananda. Dalam artikelnya, Ravie mengatakan bahwa seni Cepetan bermula di tahun
40-an berkembang di wilayah Karanggayam dan berkaitan dengan sebuah peristiwa
pembukaan hutan yang bernama Curug Bandung yang angker sehingga menimbulkan
kemarahan berbagai mahluk gaib baik itu cepet, brekasakan, banaspati, raksasa
dan lain – lain. Setelah sesepuh desa dan warga masyarakat melakukan laku
prihatin mereka dapat mengatasi gangguan mahluk-mahluk jahat tersebut sehingga
hutan tersebut dapat ditinggali oleh warga dan menghasilkan kemakmuran dan
ketentraman[6].
Sementara pendapat
berbeda dikemukakan Pekik Sat Siswonirmolo selaku penggiat seni Cepetan dan
Ketua 1 Dewan Kesenian Daerah (DKD)
Kebumen. Dalam wawancara kebudayaan yang penulis lakukan tanggal 23 Oktober
2014 diperoleh keterangan bahwa Cepetan berkembang di wilayah utara Kebumen
khususnya Karanggayam sejak Abad XIX di kawasan onderneming (perkebunan luas yang dikuasai Hindia Belanda). Sebagai
bentuk perlawanan non fisik, rakyat di Karanggayam membuat topeng terbuat dari
kayu pule yang mudah dibentuk. Topeng
tersebut dibentuk menjadi sosok yang menakutkan dengan disertai ijug sebagai
rambut. Mulanya topeng-topeng tersebut dipergunakan untuk menakut-nakuti
pemilik onderneming sehingga mereka
tidak kerasan berada di sana dan menyebutnya sebagai wilayah angker. Diharapkan
dengan rasa takut tersebut mereka meninggalkan wilayah onderneming tersebut (lihat: )[7].
Pembuatan topeng sendiri bukan sekedar mengukir namun melibatkan ritual
tertentu dan jenis kayu tertentu di wilayah tertentu yang diyakini memiliki
kekuatan magis.
Menurut Bapak Pekik,
peristiwa pembukaan hutan yang kerap dihubungkan dengan kemunculan seni Cepetan
hanyalah sisipan pada era selanjutnya demi untuk memenuhi alur dan latar
belakang sebuah tarian yang dipentaskan. Sejak awalnya, Cepetan sendiri tidak
ada hubungannya dengan pembukaan hutan melainkan bentuk perlawanan non fisik
masyarakat untuk menakut-nakuti pegawai onderneming.
Kesenian
yang Berevolusi
Dari hasil percakapan
penulis dengan Bpk Pekik diperoleh kesimpulan bahwa Cepetan merupakan seni yang
mengalami evolusi dalam beberapa fase perkembangan. Cepetan sendiri sejak
semula bukanlah sebuah seni tari melainkan bentuk perlawanan non fisik terhadap
pegawai pemerintahan Hindia Belanda melalui topeng-topeng yang menakutkan.
Di desa-desa di wilayah
Karanggayam khususnya Kajoran, Karangjoho topeng Cepetan dikembangkan menjadi
seni tari tradisional yang diiringi dengan suara kenthongan dan kaleng. Pada
zaman itu disebut dengan kesenian “Dangsak” atau “Tongbreng”. Kegiatan Cepetan
sendiri pada zaman tersebut belum menjadi seni yang ditanggap secara khusus
seperti wayang atau jenis tarian lainnya melainkan sebagai penyerta pada
perayaan-perayaan rakyat atau arak-arakkan seperti “merti desa” (bersih desa).
Dalam berbagai tampilan seni Cepetan tidak bisa dilepaskan dari pelibatan aspek
magis yang dimasukkan dalam diri para penari sehingga menimbulkan situasi
“trance” (ketidaksadaran atau dikuasai eksistensi lain). Fenomena ini menjadi
daya tarik dan pemikat bagi para penonton untuk menonton seni Cepetan karena
dalam kondisi “trance” banyak hal-hal yang dilakukan oleh penari yang di luar
kemampuan manusia normal.
Perkembangan modern
menjadikan Cepetan sebagai seni tari yang mengadopsi banyak elemen baik musik
(gamelan, simbal, bedhug, saron) maupun gerak tari (tari Wasono dll) dan tidak
harus melibatkan aspek magis di dalamnya. Jika dahulu pelaksanaan tari Cepetan
hanya bertelanjang dada, maka sekarang mengunakan kostum-kostum yang menarik
dan beraneka warna. Seni Cepetan saat ini tidak hanya dilakukan di desa-desa
namun juga dalam event-event kabupaten Kebumen seperti baru-baru ini
dilaksanakan di Alun-Alun Kebumen saat momentum Car Free Day dalam rangka memeriahkan Gempita Borobudur, tanggal 19
Oktober lalu.
Jika disusun menjadi
sebuah fase-fase perkembangan, maka Cepetan mengalami tiga fase yaitu fase proto tari (bentuk perlawanan
rakyat dengan menggunakan topeng-topeng menakutkan yang mewakili mahluk-mahluk
gaib seperti cepet), fase tari
tradisional (dikembangkan menjadi tarian untuk arak-arakkan yang disertai
kenthongan dan kaleng serta wajib menggunakan aspek mistis berupa kesurupan), fase tari modern (menggunakan kostum
yang indah, koreografi tari beragam, penggunaan alat musik lengkap,
dipergunakan untuk pementasan dan pagelaran, tidak harus melibatkan proses
kesurupan).
Struktur
Tarian Cepetan
Sebagaimana gerak tari
pada umumnya, dalam perkembangannya setelah mengalami sejumlah evolusi beberapa
tahapan, Cepetan sebagai sebuah seni tari yang mengadopsi banyak unsur gerak
dari tarian lainnya memiliki struktur gerakan yang terdiri dari sbb: Adegan pembukaan
dimana semua pemain akan membuat posisi menyembah ke empat penjuru mata angin
untuk menyimbolkan penyembahan pada para penguasa wilayah juga kepercayaan
mengenai “sedhulur papat lima pancer” dalam rumusan Kejawen. Adegan tarian
dengan diiringi alunan musik selama beberapa jam lamanya. Adegan penutup berupa
kesurupan. Dalam event tertentu,
adegan terakhir ini tidak wajib dilakukan sehingga praktis struktur gerakan
bisa terdiri dari pembukaan dan gerak tari namun bisa pula pembukaan, gerak
tari, penutup berupa kesurupan yang dialami pemain. Hal ini tergantung
kebutuhan dari pementasan.
Seni
Asli Yang Tidak Terdokumentasi Dalam Catatan Resmi Pemerintah Daerah
Yang mengherankan, seni
Cepetan – sebagaimana seni Jemblung dan Menthiet – yang diklaim sebagai produk
asli kebudayaan Kebumen, justru tidak masuk dalam daftar jenis kesenian yang
berakar dan berkembang di Kebumen. Dalam daftar Dinas Perhubungan Komunikasi
& Informasi Kabupaten Kebumen Tahun 2012 diperoleh data jenis kesenian dan
jumlah group sbb:
1. Kuda lumping (95 grup)
2.
Wayang kulit (80 grup)
3.
Campursari (28 grup)
4.
Ketophrak (23 grup)
5.
Calung (21 grup)
6.
Rebana (17 grup)
7.
Lengger (11 grup)
8.
Jamjaneng (12 grup)
9.
Orkes/Dangdut (7 grup)
1.
Sanggar seni (4 grup)[8]
Anehnya, seni Jemblung
dan Menthiet serta Cepetan tidak terdaftar. Padahal kesenian ini produk asli kebudayaan
Kebumen dan sudah bertebaran di beberapa wilayah dan cukup di kenal masyarakat.
Kiranya pejabat terkait yang bertugas mendaftar jenis-jenis kesenian di Kebumen
lebih cermat dan meluangkan waktu untuk blusukkan
mengetahui kondisi kesenian dan group-group kesenian lebih dekat lagi.
Nilai
Moral dan Aktualisasi Kesenian Cepetan
Sebagaimana telah
diulas berdasarkan aspek kesejarahannya, seni ini pada dasarnya lahir sebagai
bentuk perlawanan non fisik rakyat terhadap keberadaan pegawai Hindia Belanda
di kawasan onderneming, maka
nilai-nilai yang terkandung dalam seni Cepetan dapat diperluas dan
diaktualisasikan lebih luas menjadi sebuah pertunjukkan seni yang
menyimbolisasikan perlawanan dan kritik sosial terhadap bentuk-bentuk
ketidakadilan sosial, perlawanan dan kritik sosial terhadap kapitalisme global
yang menimbulkan kemiskinan struktural, perlawanan dan kritik sosial terhadap
budaya korupsi sistemik, perlawanan dan kritik sosial terhadap kemerosotan
moral dll.
Tugas para seniman tari
Cepetan untuk tidak hanya berfokus pada aspek tradisional tarian ini yang
bersifat hiburan dan ritual yang melibatkan aspek-aspek magis tertentu sebagai
bumbu pemanis tarian untuk memikat penonton melainkan lebih luas lagi
menerjemahkan nilai-nilai perlawanan dan kritik sosial yang bisa diwujudkan
dalam gerak tari maupun teman tarian yang beragam dan menyiratkan pesan-pesan
secara simbolik. Agar pesan-pesan simbolik tersebut dapat dimengerti penonton,
diperlukan penjelasan pada awal tarian arti dan makna tarian yang disajikan
yang intinya bisa berupa perlawanan dan bentuk kritik sosial.
Kesenian Reog dari
Ponorogo ternyata merupakan bentuk kesenian yang lahir dari semangat perlawanan
dan bukan sekedar seni tari dan hiburan. Saya kutipkan dari sebuah situs
internet mengenai seni Reog sebagai bentuk perlawanan sbb:
“Menurut
cerita itu, reog merupakan hasil kreasi dari salah satu petinggi Majapahit,
Demang Ki Ageng Kutu Suryongalam, yang berfungsi sebagai media kritik terhadap
kekuasaan raja Majapahit, Prabu Brawijaya V, yang juga bergelar Bhre Kertabumi.
Pemerintahan Brawijaya V terkenal korup dan tunduk pada kemauan salah satu
istrinya yang bukan orang Majapahit. Salah satu istri raja Brawijaya V tersebut
adalah seorang putri dari negeri Cina.
Jadi, pemerintahan Brawijaya V dianggap oleh banyak kalangan di
Majapahit, termasuk Ki Ageng Kutu, terlalu mudah diintervensi orang asing.
Karena itulah Ki Ageng Kutu memutuskan untuk ‘desersi’ dari tugasnya
sebagai pejabat Majapahit dan menghimpun kekuatan rakyat di daerah Wengker,
yang kini menjadi Ponorogo.
Di
daerah inilah Ki Ageng Kutu mengatur strategi dan taktik untuk melawan
pemrintahan Majapahit. Akhirnya beliau menyadari bahwa kekuatan rakyat Wengker tidaklah mampu
melawan atau bahkan mengalahkan balatentara Majapahit. Maka ia pun memilih
bentuk perlawanan lain yang bukan bersifat fisik atau frontal, yaitu melalui
kesenian. Seni yang menjadi media perlawanan itulah yang kini kita kenal dengan
seni Reog Ponorogo.
Simbolisasi
sindiran terhadap penguasa Majapahit dalam pertunjukan Reog tampak pada topeng
berbentuk kepala singa yang dinamakan
sebagai “Singa Barong”, juga juga simbol Prabu Brawijaya V. Pada bagian atasnya
ditancapkan bulu-bulu merak yang melambangkan sang istri dari Cina. Hal
tersebut sebagai perlambang adanya pengaruh kuat dari istri sekaligus negeri
asalnya, yakni Cina, terhadap jalannya pemerintahan Majapahit. Sementara
Jatilan, yang merupakan bagian lain dari pertunjukan reog dengan ciri khas
adanya kelompok penari (gemblak) yang menunggangi kuda-kudaan, menjadi simbol
dari kekuatan pasukan berkuda Majapahit.
Sementara para jathilan yang menunggang kuda melambangkan pasukan Majapahit,
seorang warok yang menari dengan
menopang topeng singa barong yang beratnya 50-60 kg hanya dengan menggunakan
giginya menyimbolkan Ki Ageng Kutu yang harus menanggung beban berat melawan
pasukan Majapahit sendirian”[9]
Berdasarkan pengisahan
sejarah Reog, maka seni Cepetan dapat mengembangkan jatidirinya sebagai seni
yang lahir dari rakyat yang bersifat perlawanan menjadi sebuah seni yang
dipakai untuk mengembangkan perlawanan yang lebih elegan berupa kritik sosial.
Seni, bisa berbentuk tarian, karya sastra, musik, benda-benda pahatan, hasil
lukisan dll. Seni bukan sekedar seni namun menjadi sarana kritik sosial dan
pembebasan.
Ahmad Tohari, budayawan
Banyumas dalam pidato kebudayaan tanggal 28 Maret 2014 mengatakan bahwa Sastra
seharusnya terlibat dalam melakukan pembelaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan
yang tergerus oleh perilaku ketidakberadaban sebagaiamana beliau katakan: “Dan sastra yang bertanggung jawab kepada
keadaban punya kewajiban membela mereka. Tentu sesuai dengan kodratnya,
pembelaan yang yang bisa dilakukan oleh sastra terhadap “Aku yang sakit” yakni
kaum miskin, mereka yang tertindas, dan sebagainya, adalah pembelaan yang
bersifat moral-sastrawi. Demikian, karena sastra tidak punya kekuatan apapun
kecuali sesuatu yang diharapkan bisa menyentuh kesadaran dan jwa manusia”[10]
Dalam banyak kesempatan
kita melihat bahwa bentuk-bentuk seni (sastra, tari, pahat, musik, lukisan dll)
dapat menjadi media perlawanan dan kritik sosial. Kita dapat membaca beberapa
ulasan dengan judul sbb: Seni Sebagai
Perlawanan![11],
Melawan Kekerasan Pada Perang Lewat Seni
Gambar[12],
Ekspresikan Perlawanan dengan Musik[13]
Karya seni, sebagai
bagian dari tubuh kebudayaan bukan hanya sekedar hiburan dan keindahan. Karya
seni sebagai bagian dari kebudayaan turut serta membangun keberadaban melalui
kontrol dan kritik sosial sebagaimana dikatakan Fred Wibowo dalam bukunya “Kebudyaan Menggugat” sbb: “Ini berarti
sudah saatnya kebudayaan dengan landasan idealnya seharusnya menjadi pengontrol
perkembangan dunia…Bahwa tanpa sikap budaya yang tercermin dalam etika global,
globalisasi lebih akan berakibat kemunduran kebudayaan manusia daripada
kemajuan”[14]
Harapan penulis, Seni
Cepetan yang berakar dari sub kultur pertemuan budaya Bagelen dan Banyumas
terlebih khusus di dominasi oleh budaya Banyumas yang bersifat kerakyatan bukan
sekedar seni yang dipromosikan menjadi ikon Kebumen semata melainkan sebuah
seni tari dan pertunjukkan yang dikemas menjadi simbol-simbol perlawanan dan
kontrol serta kritik sosial terhadap kondisi sosial dan politik baik ditingkat
nasional maupun daerah demi mencerdaskan masyarakat dan memberdayakan
masyarakat melalui media seni dan berkesenian.
Catatan 2023: Ketika wawancara in ditulis, belum banyak data dan dokumen kolonial (berita surat kabar, jurnal, majalah, buku) yang dikaji oleh penulis (Teguh Hindarto). Dalam perkembangan selanjutnya, penulis lebih memilih pendapat bahwa asal-usul Cepetan lebih kepada peristiwa pagebluk yang pernah dialami penduduk di utara Karanggayam saat terjadi pembukaan hutan. Peristiwa pagebluk dikaitkan dengan kemarahan mahluk halus penunggu hutan sehingga terjadi berbagai peristiwa sakit penyakit. Bandingkan dengan tulisan terbaru: DANGSAK BERGERAK: Sebuah Apresiasi dan Catatan Dari Pementasan “Repertoar Dangsak - https://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2019/07/dangsak-bergerak-sebuah-apresiasi-dan.html
[1] William A. Haviland, Antropologi
Jilid I (terjemahan R.G. Soekadijo), Jakarta: Erlangga 1995, hal 332-333
[2] Ruddy Agustyanto dkk, Pengantar Antropologi, Tanggerang: Universitas Terbuka 2011, hal
5.33-5.34
[3] Koentjaraningrat, Pengantar
Ilmu Antropologi, Jakarta: Aksara Baru 1985, hal 182
[4] Mustolih Brs, Masyarakat
Kebumen Masih Cari Jati Dirinya
http://www.suaramerdeka.com/harian/0605/03/ked10.htm
[5] Yus Wong
Banyumas, Spirit Pengiyongan Dalam
Pergulatan Dua Kutub Budaya
http://bumi-banyumas.blogspot.com/2013/10/spirit-penginyongan-dalam-pergulatan.html
[6] Ravie Ananda, Cepetan/Cepetan
Alas : Kesenian Tradisional Asli Karanggayam – Kebumen
http://kebumen2013.com/cepetan-cepetan-alas-kesenian-tradisional-asli-karanggayam-kebumen/
[7] Wawancara
Kebudayaan Mengenai Seni Cepetan (Ketua I Dewan Kesenian Daerah Kebumen)
http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2014/10/wawancara-kebudayaan-mengenai-seni.html
[8] M.T. Arifin, Media Penguatan Nilai-nilai Pembentukan Karakter
Bangsa: Seni-Tradisi di Kabupaten Kebumen, Sarasehan Budaya di Aula DPRD Kebumen,
16 Oktober 2013
[9] Reog, Seni
Perlawanan Dari Ponorogo
[10] Pidato Kebudayaan
Ahmad Tohari: Membela dengan Sastra
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,6-id,51064-lang,id-c,taushiyah-t,Pidato+Kebudayaan+Ahmad+Tohari++Membela+dengan+Sastra-.phpx
[12] Melawan Kekerasan
Pada Perang Lewat Seni Gambar
[13] Ekspresikan
perlawanan dengan musik
[14] Fred Wibowo, Kebudayaan
Menggugat: Menuntut Perubahan Atas Sikap, Perilaku Serta Sistem Yang Tidak
Berkebudayaan, Yogyakarta: Pinus Book Publisher 2007, hal 34
wow... ini membantu, terima kasih infonya, ijin sedot...
BalasHapusTerima kasih pencerahan Cepetannya, simbolisasi perlawan terhadap ketidak adilan
BalasHapusKalau boleh tau tulisan ini dari jurnal/artikel mana ya?atau memang membuat artikel ini sendiri?
BalasHapusIni hasil riset kecil dan wawancara. Tapi narasi di atas sudah saya imbangi dengan hasil riset dan wawancara lainnya. Saya lebih memilih bahwa asal-usul kesenian ini berlatarbelakang pagebluk yang terjadi di wilayah utara Kebumen. Bahkan di era kolonial sudah pernah ada kesenian cepetan ini
HapusSilahkan membaca kajian nerikut
http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2019/07/dangsak-bergerak-sebuah-apresiasi-dan.html
Tulisan sendiri hasil melakukan wawancara. Namun narasi perlawanan terhadap kolonial saya kritisi dalam artikel terbaru berikut ini:
BalasHapushttp://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2019/07/dangsak-bergerak-sebuah-apresiasi-dan.html?m=1