Kamis, 25 April 2013

MEMAKSIMALKAN FUNGSI ALUN-ALUN SEBAGAI RUANG PUBLIK TERBUKA


Beberapa tahun lalu saat saya mengendarai kendaraan bermotor, tiba-tiba mobil berplat Jakarta merapat dan meminta petunjuk sebuah alamat tertentu. Dan ketika saya memberikan sebuah ancer-ancer yang harus dilewati yaitu Alun-alun, orang tersebut bertanya dengan heran apa itu Alun-alun? Saya pun tidak memberikan definisi melainkan hanya memberikan sebuah deskripsi yang mudah-mudahan dapat dia identifikasi.

Deskripsi atau gambaran umum sebuah Alun-alun adalah ditandai elemen-elemen berikut yang ada disekelilingnya yaitu: (1) Lapangan luas berbentuk bundar atau persegi empat (2) Ada pohon berigin di tengah lapangan luas (3) Ada gedung pemerintahan setempat (Bupati) (4) Masjid Agung.

Definisi Alun-Alun

Alun-alun ternyata bukan hanya dominan di Indonesia khususnya Jawa tapi juga di Mancanegara dengan sebutan Town Square[1]. Apa sesungguhnya Alun-alun itu? Dan apakah fungsi dan kedudukan Alun-alun di sebuah kota?

Jumat, 12 April 2013

MENIMBANG KARYA PEKABARAN INJIL KIAI SADRACH SOEROPRANOTO






MENYELARASKAN AKAR HISTORIS KEKRISTENAN
DAN AKAR KEBUDAYAAN LOKAL

Pendahuluan

Sejarah pekabaran Injil di Indonesia dan Jawa khususnya lebih banyak menampilkan peranan orang-orang Barat sementara aktivitas dan tokoh-tokoh pekabaran Injil Jawa kurang terekspos. Padahal peranan tokh-tokoh tersebut sangat besar bagi perkembangan Kekristenan di Jawa khususnya pada Abad XIX. Jika sejarah penyebar luasan Islam mengenal tokoh Sunan Kali Jaga sebagai bagian dari Dewan Wali Songo yang lebih banyak menggunakan pendekatan kultural Jawa,  maka penyebaran kekristenan di tanah Jawa pun melibatkan sejumlah nama dan tokoh yang kharismatik, dan menggunakan pendekatan-pendekatan kultural sehingga lebih mudah diterima masyarakat Jawa pada waktu itu. Sejumlah tokoh pekabaran Injil Jawa tersebut adalah Coolen, Tunggul Wulung, Paulus Tosari. Jika tokoh-tokoh tersebut berkarya di wilayah Jawa Timur, maka tokoh yang berkarya di Jawa Tengah dengan pusat kegiatan Karangyoso, Kutoarjo adalah Kiai Sadrach Suropranoto. Tanpa bermaksud membedakan ketokohan mana yang lebih penting namun sejauh ini saya menaruh minat yang dalam untuk meneliti karya pekabaran Injil Kiai Sadrach. Mengapa? Karena kisah kehidupan dan pelayanan Sadrach sarat dengan kontroversi yang menarik untuk diteliti. Sikap kontroversialnya bukan dikarenakan dia adalah orang suka dengan hal-hal nyleneh melainkan didasarkan keteguhan sikap dan pemahaman teologisnya yang memadai. C. Guillot memberikan penilaian tentang Sadrach sbb: “Sebagaimana halnya Coolen, Ibrahim pun kurang terpelajar. Keduanya memiliki sikap ‘orang lapangan’, berbda dengan Tosari dan Sadrach yang lebih memiliki figur ‘intelektual’ dengan membaca dan menafsirkan Kitab Suci”[1]

Mengkaji ketokohan dan peranan pekabar Injil Jawa - terlepas adanya tuduhan-tuduhan miring para misionaris Barat bahwa mereka berpotensi melakukan pendekatan yang sinkretis (dan saya pun tidak bisa menampik begitu saja tuduhan tersebut) - namun kita harus melihat secara jujur bahwa buah pelayanan mereka telah menghasilkan suatu kultur baru yaitu Jawa Kristen atau orang Jawa dengan pola pemikiran dan tindakan yang diwarnai ajaran-ajaran Injil. Sadrach sendiri melakukan pemilahan dengan melibatkan permenungan teologis, adat istiadat mana yang masih bisa diisi dengan nafas Injil dan mana yang harus dibuang. Kemampuan ini penting mengingat masih ditemui sampai hari ini, kelompok Kristen yang mengklaim sebagai pewaris pemikiran dan pergerakan pekabaran Injil Jawa seperti Tunggul Wulung, Tosari, Sadrach namun terlalu jauh terlibat dalam praktek sinkretisme dan sepi dari pemikiran kritis mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam adat istiadat Jawa.