Kamis, 14 Maret 2013

EKSOTIKA CANDI IJO: DESTINASI WISATA YANG TERLUPAKAN




Semula penulis hanya bermaksud membandingkan keberadaan Lingga-Yoni di wilayah Sumber Adi Kebumen dengan kawasan Candi Ijo, Prambanan[1]. Tidak disangka, ketika melihat lebih dekat Candi Ijo ada pesona eksotika tersendiri dibandingkan destinasi wisata situs kuno lainnya seperti Candi Prambanan dan Kraton Boko di wilayah yang tidak terlalu jauh dan lebih dikenal wisatawan mancanegara dan wisatawan lokal.

Candi Ijo adalah candi Hindu yang berada tidak jauh dari Candi Ratu Boko atau kita-kira 18 km di sebelah timur kota Yogyakarta. Keberadaan Lingga-Yoni di dalam lingkungan candi memperkuat latar belakang agama Hindu Siwa tersebut. Candi ini dibangun pada abad ke-9 pada saat zaman Kerajaan Mataram Kuno, dan terletak pada ketinggian 410 meter di atas permukaan laut.

Secara administratif, situs ini berada Dukuh Nglengkong, Dusun Groyokan, Desa Sambirejo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman yang terletak pada posisi 110 00’ 32.86” BT 07 46’ 55” LS.

Candi Ijo merupakan kompleks 17 buah bangunan yang berada pada sebelas teras berundak. Pada bagian pintu masuk terdapat ukiran kala makara, berupa mulut raksasa (kala) yang berbadan naga (makara), seperti yang nampak pada pintu masuk Candi Borobudur. Dalam kompleks candi ini terdapat tiga candi perwara (pendamping) yang menunjukkan penghormatan masyarakat Hindu kepada Trimurti: Brahma, Wisnu, dan Syiwa.

NILAI KEBERADAAN LINGGA DAN YONI DI DESA SUMBERADI


Menindaklanjuti laporan Tim Pawiyatan Kebumenan beberapa minggu lalu di desa Sumberadi mengenai keberadaan Lingga dan Yoni di kawasan TK Sumberadi dan beberapa ratus meter dari Pesantren Al Kahfi Somalangu[1], penulis mencoba menelusuri kembali jejak dan keberadaan Lingga dan Yoni di kawasan tersebut dan mencoba memperdalam makna keberadaan Lingga dan Yoni khususnya di wilayah dengan basis Keislaman yang kuat tersebut dan bagi masyarakat Kebumen pada umumnya.




Senin, 11 Maret 2013

BENARKAH WATU TUMPENG SEBUAH MENHIR?


Mengkaji Ulang Asumsi Ravie Ananda Tentang Situs Megalitikum
Di Dusun Tungku, Sadang Wetan, Kebumen


Dalam artikelnya berjudul, “Situs Megalitikum Menhir Watu Tumpeng, Tanggul Asih, Dusun Tungku, Desa Sadang Wetan, Sadang – Kebumen “, Ravie Ananda menuliskan, “Situs Megalitikum Watu Tumpeng Tanggul Asih ini termasuk dalam kategori kebudayaan Menhir. Situs ini berada di Dusun Tungku, Desa Sadang Wetan, Kecamatan Sadang, Kabupaten Kebumen, lebih – kurang 500 meter dari Wisata Embung (Telaga buatan) Cangkring yang berlokasi di Desa Cangkring, Kecamatan Sadang, Kabupaten Kebumen. Menhir ini memiliki bentuk layaknya Tumpeng (Ambeng) sebagai inti dari situs, dikelilingi oleh batu – batu yang berukuran lebih kecil dalam lingkaran terasering/berundak sehingga mirip sebuah tumpeng yang dikelilingi oleh kelengkapan lain seperti lauk pauk dan sebagainya”[1].

Saya tertarik untuk membuktikan kebenaran pernyataan di atas. Apalagi dalam penjelasan selanjutnya Ravie mengatakan adanya “batu lempeng bertuliskan huruf kuno” sbb: “Bagian inti dari situs ini yakni Batu Tumpeng dikelilingi oleh rumpun bambu. Sebelumnya terdapat pula tugu megalitikum yang terbuat dari batu yang berukuran lebih kecil dari Batu Tumpeng, sayangnya tugu tersebut kini telah hilang dan digantikan dengan tugu buatan dari semen bertuliskan 0281. Selain tugu batu, terdapat pula batu lempeng bertuliskan huruf kuno, tetapi ketika penulis dan tim “Kebumen2013” melakukan penelusuran pada 14 Agustus 2012 batu tersebut telah roboh terbalik sehingga tulisan tersebut tertimbun tanah. Robohnya batu ini disebabkan oleh kegiatan penambangan Kaolin murni/lempung putih, lempung ini dibawa ke jakarta (kegunaan kaolin untuk bahan dasar membuat keramik dan bisa juga sebagai bahan pembuat obat diare) dilokasi situs beberapa waktu yang lalu”[2].

Rabu, 06 Maret 2013

KEBUMEN PERNAH DISINGGAHI GAJAH MADA?




Koran Kebumen Ekspres memuat artikel berjudul, “Sejarah Panjer dan Kajian Ravie Ananda, Pemerhati Sejarah dan Budayawan: Disinggahi Tokoh Penting seperti Gajah Mada dan Pangeran Diponegoro” (Kebumen Ekspres, 6 Maret 2013, hal 3). Pemuatan artikel ini mengingatkan saya akan artikel tanggapan yang saya muat di blog pribadi saya (teguhhindarto.blogspot.com) dengan judul, “Memisahkan Fakta dan Fiksi Seputar Sejarah Berdirinya Kabupaten Kebumen” (teguhhindarto.blogspot.com) sebagai bentuk tanggapan atas artikel Sdr Ravie Ananda dengan judul, “Sejarah Cikal Bakal Kabupaten Kebumen” (kebumen2013.com).

Kajian dan tanggapan saya pernah saya serahkan pada Bupati Kebumen namun dikarenakan beliau sedang tidak ada di tempat maka saya menemui Sekda Kebumen Bpk Adi pandoyo beberapa waktu lalu untuk dipelajari sehubungan adanya sejumlah wacana peninjauan kembali sejarah berdirinya kabupaten kebumen oleh sejumlah elemen masyarakat termasuk sdr Ravie Ananda.

Ada pernyataan dalam Koran Kebumen Ekspres yang menggugah saya untuk memberikan tanggapan yaitu, “Meski bukan berlatar belakang pendidikan sejarah, Ravie Ananda SPd menaruh minat lebih terhadap pengkajian sejarah. Khususnya sejarah tentang Kebumen. Dengan keterbatasan dana dan fasilitas, pria 33 tahun ini telah melakukan banyak kajian...Salah satu kajian yang mencegangkan, yakni tentang Maha patih Gajah Mada moksa di Panjer...menurut Ravie, satu-satunya situs pamokshan Gajah Mada yang sejak dahulu telah diketahui masyarakat pada zaman Mataram Islam adalah di Kabupaten Panjer. Situs tersebut dihilangkan bersama kompleks makam kuno yang ada di sana oleh Belanda dengan mengubahnya menjadi pabrik minyak kelapa Sari Nabati” (Kebumen Ekspres, 6 Maret 2013, hal 3).

Benarkah Panjer kuno sebagai cikal bakal Kabupaten Kebumen merupakan tempat pamoksan Gajah Mada? Pertama, kita tidak memiliki bukti material berupa naskah manuskrip, babad yang mengisahkan dimana Gajah Mada moksa di wilayah Panjer selain asumsi belaka. Minimal Babad Tanah Jawi memasukkan kisah tersebut mengingat Panjer kuno merupakan bagian dan wilayah Mataram Islam yang berfungsi sebagai salah satu persediaan lumbung padi saat penyerangan Sultan Agung ke Batavia, apalagi dikatakan dalam artikel tersebut, “menurut Ravie, satu-satunya situs pamokshan Gajah Mada yang sejak dahulu telah diketahui masyarakat pada zaman Mataram Islam adalah di Kabupaten Panjer”. Minimnya bukti ini menggugurkan asumsi Ravie Ananda bahwa Panjer kuno adalah tempat singgah dan moksanya Gajah Mada.